Hukum Perikanan Indonesia
Penulis: Ir. H. Djoko Tribawono, M.Si.
Hukum perikanan Indonesia dinamis; terjadi perubahan dampak hukum internasional untuk menjaga hubungan dengan negara lain. Edisi Pertama berisi peraturan Zaman Hindia Belanda sampai Era Kemerdekaan dengan keluarnya UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Berkembangannya teknologi, politik, sosial dan ekonomi dikaitkan kondisi perikanan dan kelautan dunia, mendorong penyesuaikan demi hubungan internasional. dengan perubahan perkembangannya menjadi lebih runtut. Edisi Kedua dilengkapi UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan peraturan sejak UU Nomor 9 Tahun 1985; terakhir dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Muatannya diawali Ordonansi Belanda di Zaman Kemerdekaan sampai UU Perikanan sebagai dasar pengaturan perikanan. Buku Hukum Perikanan Indonesia Edisi Kedua (Revisi) diharapkan menjadi informasi setelah keluar UU Perikanan pertama kali tahun 1985.
Perikanan merupakan kegiatan berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sebagai kegiatan ekonomi akan menempatkan “motivasi ekonomi” dalam pelaksanaannya, yang mengakibatkan pengelolaan berlebih tanpa menghiraukan kelestarian. Kalau keadaan pada kondisi tangkap lebih (over fishing) perlu langkah preventif dengan pengaturan perikanan agar bisa memberi dampak positif terhadap keberlanjutan usaha.
UU Nomor 9 Tahun 1985 mempunyai peran pengaturan pelaksanaan pembangunan perikanan dari sisi politik, sosial ekonomi, pengelolaan sumber daya ikan, pengendalian dan pengawasan, prasarana perikanan maupun penyesuaian hukum laut. Keberadaannya belum menampung aspek pengelolaan sumber daya ikan, kurang mengantisipasi perkembangan hukum dan teknologi pengelolaan, maka diganti dengan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sumber daya ikan di perairan kedaulatan NKRI dan ZEEI serta laut lepas belum berdampak terhadap peningkatan taraf hidup melalui pengelolaan perikanan, pegawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal; belum sepenuhnya mengantisipasi teknologi, kebutuhan hukum pengelolaan dan pemanfaatan potensi; maka dari itu ditetapkam UU Nomor 45 Tahun 2009.
Dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan Tahun 1999 sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan memberi pertanda bahwa kelautan dan perikanan mempunyai nilai strategis sebagai “prime mover” pembangunan nasional. Setelah kemerdekaan, hukum laut/perikanan mempedomani ordonansi yang sifatmya sepenggal (tidak menyeluruh); sehingga kurabg strategis sebagai landasan pembangunan perikanan. Diawali UU No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, UU No. 1 Tahun 1973, UNCLOS 1982; UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia; memberi pedoman pelaksanaan kebijakan perikanan. Dalam pada itu UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia lebih menyempurnakan Hak Lintas Damai, sesuai hukum internacional. Berbagai kasus pelanggaran nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan Australia; mengakibatkan “dikurangi” atau “dicabut” hak beroperasi. Karena nelayan tradisional memperoleh “hak tradisional” nya di Australia seharusnya dimanfaatkan tanpa melanggar peraturan, pada sisi lain Indonesia-Australia sepakat bekerja sama meningkatkan pengawasan penanggulangan illegal fishing di perbatasan ZEE.
Sumber daya ikan dapat pulih sendiri, pemanfaatan melebihi batas optimal (MSY), penyebab terancamnya kelestarian. Dari itu perlu mengatur jenis usaha dan jumlah nelayan yang beroperasi guna kelangsungan usaha. Sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang peraturan pengelolaan s dikaitkan pembinaan dan pelestarian sumber daya ikan dibuat sesuai “kepentingan” pemerintah, tergantung “political will” pada zamannya. Salah satu peraturan dikatagorikan “kontroversial” oleh negara tetangga adalah penghapusan alat tangkap trawl (pukat harimau). Mengantisipasi turunnya produksi udang, dikeluarkan peraturan penggunaan pukat udang; dan pengembangan budidaya laut. Pengembangan budidaya perikanan harus ditopang ketersediaan induk dan benih berkualitas. Standardisasi, akreditasi dan sertifikasinya mendukung usaha budidaya. dengan meningkatkan fungsi dan peran pemerintah, mulai proses produksi, distribusi, pemasaran, pengendalian dan pengawasan. Pemanfaatan dan pengelolaan diatur melalui perizinan usaha perikanan untuk pengendalian sekaligus membina usaha akan menciptakan iklim usaha berkelanjutan. Perubahan UU Perikanan mengandung konsekuensi perubahan peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri dan lain-lain sebagai penjabaran ketentuan undang-undang. Peraturan Pemerintah yang mengatur Usaha Perikanan, antara lain pengelolaan ZEEI, deregulasi perizinan dan lain-lain. Deregulasi dan debirokratisasi perizinan usaha perikanan mendorong pertumbuhan usaha, sisi lain tetap mengamankan kelestarian melalui perizinan dan pengawasan lebih intensif. Perizinan usaha perikanan tidak sebatas usaha perikanan tangkap, tetapi termasuk budidaya perikanan, serta peraturan pengolahan mutu hasil perikanan.
Otonomi daerah mengandung konsekuensi perubahan mendasar Bidang Perikanan menjadi penghasil pajak atau retribusi daerah; asal Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota mencermati serta memanfaatkan kewenangannya. Saling pengertian antardaerah, agar sumber daya tidak merupakan komoditas yang diperebutkan akan menghindarkan konflik dan mengakibatkan rusaknya sumber.
Hukum dan Peraturan Perikanan di Indonesia melalui tiga kurun waktu, yaitu Era Ordonansi Belanda, Era Pasca Kemerdekaan, dan Era Undang-Undang Perikanan menggambarkan political will pemerintah pada era masing-masing. Perubahan atau perbaikan hukum/peraturan perikanan dilakukan demi legalitas dan landasan hukum dikaitkan perkembangan biotekniko-sosio-ekonomiko perikanan menjadikan perubahan semakin bermanfaat.
Ulasan
Belum ada ulasan.