Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke Masa
Penulis: Insan Budi Maulana
Sengketa merek terkenal di Indonesia mulai banyak terjadi pada tahun 80-an dan mencapai puncak pada awal tahun 90-an, salah satu alasannya karena sistem Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 cukup banyak mengandung kelemahan. Di samping juga karena etika bisnis yang buruk pada sebagian kalangan pengusaha di tanah air, dan sikap legalistis beberapa hakim. Walaupun, sebenarnya ada juga beberapa hakim yang masih mengutamakan moral justice, dan tetap melindungi pemilik merek terkenal yang sebenarnya.
Buku berjudul PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DI INDONESIA DARI MASA KE MASA merupakan catatan peristiwa perlindungan merek terkenal di Indonesia yang dimulai pada tahun 1972 hingga akhir tahun 1997 yang dipilih secara acak, ketika Indonesia menerapkan sistem ekonomi terbuka yang berdampak pada pelanggaran terhadap merek-merek terkenal (asing) yang didaftar lebih dulu oleh para pengusaha lokal. Akibat pendaftaran tersebut, para pemilik merek terkenal (asing) harus mengajukan gugatan pembatalan untuk memperoleh kembali hak atas mereknya, namun disayangkan beberapa gugatan itu kandas. Sehingga memberi kesan, Indonesia tidak memberi perlindungan terhadap para pemilik merek terkenal (asing) dan surga bagi pembajak merek-merek terkenal.
Kelemahan dalam sistem Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 yang tidak mencantumkan perlindungan terhadap merek terkenal telah dicoba diperbaiki, dan diatasi melalui Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 April 1993, dan revisinya melalui Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997 yang disahkan pada tanggal 7 Mei 1997. Meskipun, secara teoretis, undang-undang itu terlihat telah memberikan perlindungan terhadap pemilik merek terkenal, namun realitasnya upaya untuk melindunginya masih menghadapi bermacam kendala.
Sesungguhnya, pelanggaran terhadap pemilik merek terkenal tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lain, misalnya, merek “CHANEL 5”, untuk produk parfum terkenal yang dimiliki perusahaan Prancis telah digunakan oleh perusahaan Jepang untuk “love hotel“, atau kasus merek SEVEN UP vs. 8 UP yang terjadi di Australia, dan kasus-kasus merek terkenal yang terjadi di beberapa negara lainnya.
Buku ini merupakan bagian dari disertasi Insan Budi Maulana untuk meraih gelar doktor dari Fakultas Hukum Universitas Kobe, Jepang, dan merupakan buku keempat yang diterbitkan oleh PT CITRA ADITYA BAKTI yang masih merupakan rangkaian serial Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Diharapkan, melalui buku ini, kajian terhadap merek-merek terkenal akan semakin bertambah, serta memberi manfaat bagi kalangan akademis, praktisi hukum, para penegak hukum, pemeriksa merek dan para pengusaha.
Ulasan
Belum ada ulasan.